Hukum kausalitas
(sebab-akibat) merupakan hal yang aksiomatis di alam semesta ini. Dengan
hukum ini pula alam semesta tercipta. Hukum ini terdiri dari dua hal;
‘sebab’ dan ‘akibat’. Dalam kajian filsafat disebutkan beberapa
kekhususan yang dimiliki oleh hukum ini termasuk bahwa; ‘sebab’ harus
‘ada’ (eksis) terlebih dahulu dari ‘akibat’. Dan, segala kesempurnaan
eksistensial ‘akibat’ harus dimiliki oleh ‘sebab’, bahkan ‘sebab’ harus
memilikinya dengan bentuk yang lebih sempurna dari apa yang dimiliki
oleh ‘akibat’.
Dalam kajian
teologi falsafi telah disebutkan bahwa, mata rantai penciptaan alam
harus berakhir pada satu titik dimana tiada lagi esensi lain yang
menjadi pencipta titik tersebut. Jika tidak, niscaya akan berakhir pada
terjadinya dua kemungkinan; ‘mata rantai penciptaan yang tiada berakhir’
(tasalsul) dan atau ‘perputaran mata rantai penciptaan’ (daur)
dimana kedua hal tersebut –dengan berbagai argumen yang telah
dijelaskan secara terperinci dalam berbagai buku teologi dan filsafat-
dinyatakan sebagai hal yang mustahil terjadi. Titik akhir dari mata
rantai penciptaan itulah yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan,
atau dalam agama Islam biasa disebut dengan Allah SWT.
Allah SWT adalah
kausa prima, prima dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karenanya, segala
atribut kesempurnaan eksistensial makhluk di alam semesta yang merupakan
obyek ciptaan-Nya harus pula dimiliki oleh esensi-Nya, bahkan dengan
bentuk yang lebih sempurna. Karenanya, semua atribut kesempurnaan Allah
SWT selalu didahului dengan kata ‘Maha’. Kata itu (Maha) meniscayakan
ketiadaan segala bentuk ‘kekurangan’ pada esensi sejati-Nya. Sekecil
apapun kekurangan yang akan disematkan pada Allah SWT maka akan
meniscayakan ketidaklayakan-Nya untuk menyandang titel ‘Maha’. Salah
satu bentuk kekurangan adalah memiliki ‘sifat-sifat kekurangan’ yang
dimiliki oleh hasil ciptaan-Nya (makhluk), termasuk sifat ‘membutuhkan
kepada selain-Nya’ dan atau ‘memiliki sifat kekurangan makhluk-Nya’.
Salah satu hasil
ciptaan (makhluk) Allah SWT adalah tempat. Pertanyaan tentang tempat
selalu dimulai dengan ‘dimana’. Jika ditanya tentang dimana Allah SWT
maka hal itu sama dengan menyatakan bahwa Allah SWT membutuhkan tempat
dan atau esensi diri-Nya memerlukan sesuatu yang lain yang bernama
‘tempat’. Padahal tempat adalah salah satu makhluk-Nya. Apakah mungkin
Allah SWT Pemilik segala bentuk kesempurnaan dan Yang dijauhkan dari
segala bentuk kekurangan lantas memerlukan terhadap selain-Nya, padahal
segala sesuatu selain Allah SWT adalah makhluk dan hasil ciptaan-Nya?
Dengan kata lain, apakah mungkin Allah SWT memerlukan terhadap
makhluk-Nya? Tentu jawabannya adalah, mustahil Allah SWT memerlukan
terhadap selain-Nya. Itu kemungkinan pertama.
Kemungkinan kedua
adalah, Allah SWT memiliki sifat kekurangan, persis seperti makhluk-Nya
(padahal dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa, “Tiada satupun yang
menyamai-Nya”). Bagaimana
tidak? Sewaktu Allah ada di suatu tempat maka hal itu meniscayakan
bahwa Ia seperti makhluk-Nya; perlu terhadap tempat, bisa di tunjuk
dalam arti berada di suatu arah tertentu dan dalam waktu yang sama tidak
ada di arah lain dimana hal itu memberikan konsekuensi bahwa Allah SWT
tersusun dan memiliki anatomi tubuh (jisim), persis keyakinan
anthromorpisme Yunani klasik.
Kemungkinan
ketiga adalah, jika Allah SWT bertempat maka hal itu meniscayakan
ketidak-aksiomatisan hukum kausalitas yang telah disinggung di atas. Karena
bagaimana mungkin Allah SWT harus bertempat sedang tempat adalah hasil
ciptaan-Nya yang pastinya ‘ada’ (eksis) pasca keberadaan Allah SWT?
Lantas sebelum Allah SWT menciptakan tempat, dimanakah Allah bertempat?
Oleh karenanya,
pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu
terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan
yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena
memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan
mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu
bukti akan keotentikan hukum kausalitas.
Atas dasar itu,
para Imam Ahlul Bayt menjelaskan bahwa ‘tempat’ adalah makhluk Allah SWT
yang Allah tidak akan pernah membutuhkan selain-Nya (makhluk). Dalam
menjawab pertanyaan “Dimanakah Allah?”, Imam Ahlul Bayt -seperti yang
disinyalir dalam kitab tauhid as-Shoduq- mengatakan: “Allah adalah Dzat
yang menjadikan dimana sebagai dimana. Lantas apakah mungkin Allah
disifati (ditanya tentang) dengan kata dimana?”. Yang benar adalah,
Allah tidak menempati sesuatu apapun dan Dia Maha meliputi atas segala
sesuatu, sebagaimana yang dinatakan dalam al-Quran dengan ayat “Wa Kaanallahu bikulli Syai’in Muhiith”
(Dan Allah melingkupi segala sesuatu /QS an-Nisaa:126). Adapaun
ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah SWT dalam mengatur alam semesta
duduk di atas Arsy (singgasana), maka ayat-ayat itu harus ditakwil –spt:
singgasana sebagai simbol kekuasaan- sehingga tidak bertentangan dengan
ayat “Tiada apapun yang menyamai-Nya” (Laisa Kamistlihi Syai’)
dan ayat yang telah disinggung di atas tadi. Jika ayat al-Quran harus
ditakwil agar tidak bertentangan dengan ayat lainnya, apalagi
hadis-hadis yang menjelaskan tentang hal itu, lebih utama untuk
ditakwil. Jika tidak mampu untuk ditakwil maka kita singkirkan jauh-jauh
hadis tersebut dari file kita, walaupun hadis tersebut terdapat dalam
kitab standart dan pustaka agama kita, karena bertentangan dengan
ayat-ayat al-Quran. [FI/ISLAT]
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS : 2 : 186)
BalasHapus